Fenomena Glow Up di Media Sosial Antara Inspirasi dan Tekanan Standar Kecantikan Baru

foto/istimewa

Sekilas.co – Istilah  glow up kini menjadi salah satu tren paling populer di media sosial, khususnya di kalangan generasi muda. Dari TikTok hingga Instagram, jutaan video dan foto bertema transformasi diri baik fisik maupun emosional dibagikan setiap hari. Momen perubahan penampilan dari ‘biasa saja’ menjadi lebih menarik, sehat, dan percaya diri kerap dikemas dalam format before after yang memikat perhatian publik.

Tren ini tak hanya sekadar hiburan visual. Banyak pengguna media sosial menjadikan konten glow up sebagai motivasi untuk memperbaiki gaya hidup, penampilan, dan pola pikir. Hashtag seperti  GlowUpJourney,  SelfCare dan  BeforeAndAfter bahkan digunakan untuk membangun komunitas yang saling mendukung dalam perjalanan pengembangan diri. Dalam beberapa kasus, glow up juga menjadi simbol kesembuhan dari masa-masa sulit seperti patah hati, bullying, atau gangguan mental.

Baca juga:

Namun, fenomena ini juga menghadirkan sisi gelap yang patut dicermati. Pakar psikologi media, dr. Mita Arlinda, menyebut bahwa tren glow up bisa menimbulkan tekanan terselubung.  Banyak remaja dan dewasa muda merasa tidak cukup ‘baik’ jika tidak mengalami perubahan drastis seperti yang mereka lihat di media sosial,  ujarnya. Ia menambahkan bahwa standar kecantikan yang ditampilkan seringkali tidak realistis karena diedit atau difilter secara digital.

Sementara itu, industri kecantikan dan kesehatan memanfaatkan tren ini sebagai peluang pemasaran. Produk skincare, alat olahraga, suplemen diet, hingga klinik estetik gencar menggunakan narasi  glow up untuk menarik konsumen. Kampanye seperti  Get Your Glow Today atau  Time for a Glow Up kini mudah ditemukan dalam iklan daring. Strategi ini terbukti efektif dalam memengaruhi perilaku belanja, terutama di kalangan perempuan usia 18 30 tahun.

Beberapa selebritas dan influencer pun turut mempopulerkan narasi glow up dengan membagikan transformasi pribadi mereka. Meski terlihat inspiratif, sebagian warganet menilai bahwa proses glow up yang ditampilkan sering kali melibatkan biaya besar dan akses ke fasilitas yang tidak semua orang miliki. Hal ini memicu diskusi soal kesenjangan dalam meraih  standar glow up  yang viral.

Namun, tak sedikit pula konten kreator yang mencoba meluruskan makna glow up agar tidak melulu soal penampilan fisik. Mereka menekankan bahwa glow up juga bisa berarti menjadi lebih sehat secara mental, lebih positif, dan lebih mencintai diri sendiri.  Glow up bukan soal jadi kurus atau putih. Tapi soal berkembang jadi versi terbaik dari dirimu sendiri, apa pun bentuknya, tulis seorang influencer kesehatan mental dalam unggahan viralnya.

Sosiolog digital, Prof. Rizky Handoko, menilai tren ini sebagai cermin perubahan nilai dalam masyarakat era digital.  Orang kini mengaitkan transformasi pribadi dengan visualisasi di media sosial. Ini berbahaya jika tidak disertai kesadaran bahwa media sosial hanyalah potongan kecil dari realita, jelasnya. Ia menekankan pentingnya edukasi literasi digital agar masyarakat bisa menikmati tren ini secara sehat.

Glow up di media sosial sejatinya bisa menjadi gerakan positif jika dimaknai sebagai ajakan untuk merawat diri, tumbuh, dan menyembuhkan luka batin. Namun perlu diingat, tidak semua perubahan harus terlihat secara visual. Dalam dunia yang semakin menuntut kesempurnaan, mencintai diri apa adanya juga merupakan bentuk glow up yang paling bermakna.

Artikel Terkait