Dalam dunia komunikasi, baik lisan maupun tulisan, istilah style sering kali menjadi pembeda yang menentukan apakah pesan akan diterima dengan baik atau justru diabaikan. Style di sini tidak hanya sebatas pilihan kata, melainkan juga cara penyampaian, nada, serta struktur yang digunakan oleh seseorang dalam menulis atau berbicara. Seorang jurnalis, misalnya, tentu memiliki gaya bahasa yang berbeda dengan seorang penulis sastra. Demikian pula seorang pembicara publik akan menggunakan pendekatan yang berbeda dengan seorang dosen akademis. Dengan kata lain, style adalah tanda tangan khas yang membuat komunikasi seseorang mudah dikenali.
Gaya dalam menulis bukan hanya soal estetika, tetapi juga menyangkut efektivitas pesan. Tulisan ilmiah yang menggunakan bahasa kaku dan formal memiliki style yang berbeda dari artikel populer yang ringan dan mudah dipahami. Contohnya, laporan penelitian biasanya penuh dengan istilah teknis, sementara kolom opini di media massa lebih fleksibel dalam mengolah bahasa. Di sinilah style memainkan peran penting ia menentukan siapa audiens yang dituju dan bagaimana pesan itu diterima. Jika penulis salah memilih style, bukan tidak mungkin pesan yang ingin disampaikan menjadi bias atau bahkan gagal tersampaikan.
Hal serupa juga berlaku dalam berbicara. Seorang orator ulung tidak hanya mengandalkan isi pidatonya, tetapi juga bagaimana ia menyusunnya, intonasi suara, jeda, hingga ekspresi wajah. Itulah yang membentuk style dalam berbicara. Barack Obama, misalnya, dikenal dengan gaya bicara tenang, terukur, dan penuh retorika yang mampu menggugah audiensnya. Berbeda dengan gaya Donald Trump yang lugas, spontan, dan kadang kontroversial. Keduanya sama sama efektif, namun ditujukan untuk audiens yang berbeda. Style dalam berbicara pada akhirnya menjadi refleksi kepribadian sekaligus strategi komunikasi.
Dalam praktik jurnalistik, style memiliki peran krusial karena menyangkut kredibilitas media. Media arus utama biasanya menggunakan gaya bahasa lugas, objektif, dan informatif agar pembaca memperoleh informasi yang jelas. Sementara media gaya hidup cenderung memilih gaya penulisan naratif dengan sentuhan emosional. Perbedaan ini menunjukkan bahwa style bukan hanya soal selera, melainkan strategi komunikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan audiens. Jika sebuah media menulis berita kriminal dengan gaya santai, tentu akan menimbulkan kesan tidak profesional.
Menariknya, style juga bisa menjadi cerminan identitas penulis atau pembicara. Dalam dunia sastra, misalnya, gaya menulis Pramoedya Ananta Toer yang deskriptif dan penuh detail membuat pembaca seakan larut dalam cerita sejarah. Begitu pula gaya menulis Andrea Hirata yang puitis dan emosional, menimbulkan nuansa berbeda. Dalam komunikasi lisan, gaya berbicara seorang tokoh agama akan berbeda dengan seorang stand up comedian. Identitas inilah yang membuat setiap penulis dan pembicara memiliki tempat tersendiri di hati audiensnya.
Namun, style bukan berarti kaku atau tidak bisa berubah. Justru fleksibilitas dalam menyesuaikan gaya adalah keterampilan penting. Seorang guru, misalnya, harus mampu menyesuaikan gaya bicaranya ketika berbicara dengan siswa, orang tua murid, atau sesama rekan kerja. Demikian pula seorang penulis konten digital perlu menyesuaikan gaya tulisannya antara media sosial, blog pribadi, atau artikel jurnal. Kemampuan mengubah style tanpa kehilangan identitas merupakan tantangan yang hanya bisa dicapai melalui pengalaman dan latihan konsisten.
Peran teknologi juga membawa dinamika baru dalam pembentukan style. Era media sosial membuat gaya menulis dan berbicara menjadi lebih ringkas, cepat, dan interaktif. Twitter dengan keterbatasan jumlah karakter memaksa penulis untuk berpikir padat dan langsung pada inti. Sementara platform seperti TikTok atau YouTube mengubah gaya berbicara menjadi lebih visual, ekspresif, dan mudah dicerna oleh audiens muda. Perubahan ini menunjukkan bahwa style tidak hanya soal individu, tetapi juga dipengaruhi oleh perkembangan zaman dan medium yang digunakan.
Pada akhirnya, style dalam menulis maupun berbicara adalah cerminan karakter, identitas, sekaligus strategi komunikasi. Ia bukan hanya mempercantik pesan, tetapi juga memastikan pesan tersebut sampai dengan tepat sasaran. Dalam dunia yang semakin padat informasi, gaya khas menjadi nilai tambah yang membedakan seseorang dari yang lain. Oleh karena itu, memahami, mengembangkan, dan menyesuaikan style adalah keterampilan penting bagi siapa pun yang ingin sukses dalam menyampaikan ide. Tanpa gaya yang jelas, pesan bisa kehilangan daya tarik, sementara dengan style yang tepat, pesan bisa menjadi abadi.





