Sekilas.co – Dalam dunia fashion modern, gaya berpakaian tak lagi sekadar soal mengikuti tren, tetapi tentang bagaimana seseorang mengekspresikan diri dengan cara yang paling autentik. Munculnya kesadaran untuk memilih gaya berpakaian yang lebih sesuai dengan kepribadian membuat banyak orang mulai meninggalkan konsep fashion harus ikut tren dan beralih ke fashion harus mencerminkan diri.
Para desainer dan pengamat mode menyebut fenomena ini sebagai personal style movement. Gerakan ini menekankan pentingnya mengenali karakter diri sebelum memilih busana, baik dari segi warna, potongan, maupun aksesori. Misalnya, seseorang yang berkepribadian lembut cenderung memilih warna pastel dan bahan lembut, sementara mereka yang energik lebih menyukai warna-warna bold dengan potongan modern.
Tidak hanya di kalangan profesional, tren berpakaian sesuai kepribadian juga berkembang di dunia remaja dan mahasiswa. Media sosial menjadi ruang besar bagi anak muda untuk menampilkan gaya khas mereka dari streetwear, vintage look, hingga gaya kasual minimalis. Platform seperti TikTok dan Instagram bahkan menjadi sumber inspirasi utama yang memperkenalkan gaya-gaya baru berbasis ekspresi diri.
Menurut data dari Statista 2025, lebih dari 60% konsumen muda di Asia memilih pakaian berdasarkan personal comfort dan self expression ketimbang sekadar mengikuti tren musiman. Hal ini menunjukkan pergeseran besar dalam dunia fashion: dari sekadar konsumtif menjadi lebih sadar diri (conscious fashion).
Pakar fashion asal Indonesia, Dian Pelangi, menyebut bahwa berpakaian sesuai kepribadian juga menciptakan rasa percaya diri yang lebih kuat. Ketika seseorang memakai busana yang mencerminkan dirinya, ia tidak hanya terlihat menarik, tetapi juga merasa nyaman dan berani tampil apa adanya, ujarnya dalam sebuah wawancara fashion week di Jakarta.
Fenomena ini juga mendorong munculnya merek-merek lokal yang fokus pada keberagaman gaya dan identitas. Mereka tidak lagi menjual pakaian berdasarkan tren global, melainkan menghadirkan koleksi yang mengutamakan kenyamanan, keunikan, dan representasi budaya lokal. Dengan begitu, konsumen dapat menemukan gaya yang benar-benar berbicara tentang siapa mereka.
Namun, di sisi lain, masih banyak masyarakat yang merasa tertekan oleh standar penampilan yang dibentuk media. Beberapa orang justru kehilangan arah gaya pribadi karena terlalu sibuk menyesuaikan diri dengan tren yang viral. Para ahli gaya menyarankan agar masyarakat tetap menjadikan fashion sebagai alat ekspresi diri, bukan alat pembanding sosial.
Dengan berkembangnya kesadaran ini, berpakaian kini bukan sekadar rutinitas, melainkan bentuk komunikasi nonverbal yang menunjukkan karakter dan keyakinan diri. Gaya berpakaian yang sesuai bukan tentang siapa yang paling modis, tetapi siapa yang paling tahu cara menjadi dirinya sendiri dengan percaya diri, nyaman, dan penuh makna.





